Sistem Pembagian
Kekuasaan Pemerintahan Negara
Kelompok
4:
v
Reja
Gusmadi
v
Selvi
Nurpatriani
v
Sri
Depi
v
Surya
Darmawan
v
Vebi
Beonardo
v
Vivi
Asrina Okiawati
v
Zela
Nopita
Kelas: XI IPA 1
SMAN 01 Lebong Sakti
2014 - 2015
Dalam sebuah praktek ketatanegaraan
tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi
pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter,
sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada
ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya
pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan
diantara lembaga pemegang kekuasaan.
a. Pengertian Pembagian Kekuasaan
Pembagian
kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut
kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses
menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu
memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas
sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu.
Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang
yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi
beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada
beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada
satu pihak/ lembaga.
Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai pembagian kekuasaan berarti bahwa
kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif
dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa
diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama (Kusnardi
dan Harmaily Ibrahim. Berbeda dengan pendapat dari Jimly Asshiddiqie yang
mengatakan kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan
kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks dan balances dalam
kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama
lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau
kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam arti pembagian atau
pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai tujuan yang sama yaitu
untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu
tangan yang memungkinkan terjadinya kesewanang-wenangan.
Pada
hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu (Zul Afdi
Ardian, 1994: 62):
1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.
2. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.
1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.
2. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.
b. Pembagian Kekuasaan Menurut John
Locke
John
Locke, dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar
kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai
fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang,
maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam
kekuasaan,yaitu:
1. Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3. Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain).
Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
1. Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3. Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain).
Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
c. Konsep Trias Politica Montesquieu
Menurut
Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang
disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada
tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke.
Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan
kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
b) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
c) Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).
a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
b) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
c) Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).
Konsep
yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh
Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:
a) Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
c) Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing (Moh. Mahfud MD, 2001: 73). Seperti halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini.
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu.
a) Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
c) Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing (Moh. Mahfud MD, 2001: 73). Seperti halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini.
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu.
Cabang kekuasaan
legislatif terdiri dari:
a. Fungsi Pengaturan (Legislasi).
b. Fungsi Pengawasan (Control).
c. Fungsi Perwakilan (Representasi).
a. Fungsi Pengaturan (Legislasi).
b. Fungsi Pengawasan (Control).
c. Fungsi Perwakilan (Representasi).
Kekuasaan Eksekutif juga mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi :
a. Sistem Pemerintahan.
b. Kementerian Negara.
Begitu juga dengan kekuasaan Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut :
a. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.
b. Prinsip Pokok Kehakiman.
c. Struktur Organisasi Kehakiman.
Jadi menurut Jimly Asshiddiqie kekuasaan itu masing-masing mempunyai cabang kekuasaan sebagai bagian dari kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara dalam penyelenggaraan negara.
d. Pembagian Kekuasaan di Indonesia
Dalam
ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of
power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara
absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari
konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem
supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias
politica Monstesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo misalnya
menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti
paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.
Di sisi lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :
1. adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.
Jadi berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara.
Di sisi lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :
1. adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.
Jadi berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara.
e. latar Belakang Checks and Balances di Indonesia
Penyelenggaraan
kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui sistem MPR dengan prinsip
terwakili telah menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam
segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode orde lama (1959-1965), seluruh
anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden. Tidak jauh berbeda
pula pada masa orde baru (1966-1998) dari 1000 orang jumlah anggota MPR, 600
orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden. Hal tersbut menunjukan bahwa pada
masa-masa itu MPR seakan-akan hanya menjadi alat untuk mempertahankan penguasa
pemerintahan (presiden), yang mana pada masa itu kewenangan untuk memilih dan
mengangkat Presiden dan/ atau Wakil Presiden berada di tangan MPR. Padahal MPR
itu sendiri dipilih dan diangkat oleh Presiden sendiri, sehingga siapa yang
menguasai suara di MPR maka akan dapat mempertahankan kekuasaannya.
Pengangkatan
anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur Utusan Golongan bagi pembentukan
MPR dalam jumlah yang demikian besar juga dapat dilihat sebagai penyimpangan
konstitusional, karena secara logika dalam hal kenyataan juga terlihat wakil
yang diangkat akan patuh dan loyal kepada pihak yang mengangkatnya, sehingga
wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah atau golongan yang
diwakilinya. Akibatnya adalah wakil-wakil yang diangkat itu tidak lagi memiliki
hubungan dengan yang diwakilinya. Namun terkait dengan hal itu, Presiden
sendiri merupakan mandataris MPR yang harus bertanggung jawab kepadanya.
Berdasarkan hal tersebut maka hubungan antara MPR dengan Presiden sangat sulit
dilihat sebagai hubungan vertikal atau horizontal, jika terlepas dari MPR
sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara yang jelas
mempunyai hubungan vertikal. Maka idealnya seluruh anggota MPR itu diplih
rakyat melalui Pemilu.
Dan
di sisi lain sesuai dengan ketentuan UUD 1945, keberadaan MPR sebagai Lembaga
Tertinggi Negara, dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakayat.
Konstruksi ini menunjukkan bahwa MPR merupakan Majelis yang mewakili kedudukan
rakyat sehingga menjadikan lembaga tersebut sebagai sentral kekuasaan, yang
mengatasi cabang-cabang kekuasaan lainnya. Adanya satu lembaga yang berkedudukan
paling tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan lembaga-lembaga
penyelenggara negara yang berada di bawahnya harus bertanggung jawab kepada
MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara elemen-elemen penyelenggara negara
atau sering disebut checks and balances system antar lembaga tinggi negara
tidak dapat dijalankan.
Pada
sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian
besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi Legislasi) yang seharusnya
dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal 5 ayat (1) naskah
asli UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan rumusan
tersebut, dapat dilihat bahwa MPR mendistribusikan kekuasaan membentuk
undang-undang kepada Presiden, atau setidaknya memberikan kewenangan yang lebih
kepada Presiden dalam fungsi legislasi dari pada DPR. Karena keadaan yang
demikian sehingga pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara
sangat lemah sekali.
Orde
reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998, yang terjadi karena berbagai
krisis, baik krisis ekonomi, politik maupun moral. Gerakan reformasi itu
membawa berbagai tuntutan, diantaranya adalah Amandemen UUD 1945, penghapusan
doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, serta
mewujudkan kehidupan yang demokratis. Tuntutan itu muncul karena masyarakat
menginginkan perubahan dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia untuk
memuwujdkan pemerintahan negara yang demokratis dengan menjamin hak asasi warga
negaranya.
Hasil nyata dari reformasi adalah dengan adanya perubahan UUD 1945 yang dilatar belakangi dengan adanya beberapa alasan, yaitu:
a. Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.
b. Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden.
c. Pasal-pasal yang sifatnya terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan multi tafsir.
d. Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang.
e. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Hasil nyata dari reformasi adalah dengan adanya perubahan UUD 1945 yang dilatar belakangi dengan adanya beberapa alasan, yaitu:
a. Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.
b. Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden.
c. Pasal-pasal yang sifatnya terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan multi tafsir.
d. Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang.
e. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Hal-hal
tersebut merupakan penyebab mengapa keseimbangan dan pengawasan terhadap
lembaga penyelenggara negara dianggap sangat kurang (checks and balances
system) tidak dapat berjalan sehingga harus dilakukan Perubahan UUD 1945 untuk
mengatasi hal tersebut.
Perubahan
UUD 1945 yang terjadi selama empat kali yang berlangsung secara berturutan pada
tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 telah membawa dampak yang besar terhadap
stuktur ketatanegaraan dan sistem penyelenggaraan negara yang sangat besar dan
mendasar. Perubahan itu diantara adalah menempatkan MPR sebagai lembaga negara
yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Negara lainnya tidak
lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, pergeseran kewenangan membentuk
undang-undang dari Presiden kepada DPR, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung, mempetegas penerapan sistem presidensiil, pengaturan HAM,
munculnya beberapa lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi
Yudisial, dan lain sebagainya.
Terkait
dengan perubahan kedudukan MPR setelah adanya Perubahan UUD 1945 Abdy Yuhana
menjelaskan bahwa berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD
Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” yang merupakan perubahan terhadap
ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelumnya yang berbunyi “Kedaulatan adalah
di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Dari hasil perubahan tersebut dapat dilihat bahwa konsep kedaulatan rakyat
dilakukan oleh suatu Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR yang dianggap sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sekarang melalui ketentuan tersebut telah
dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri. Konsekuensi dari
ketentuan baru itu adalah hilangnya Lembaga Tertinggi Negara MPR yang selama
ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini merupakan
suatu perubahan yang bersifat fundamental dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, dengan begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan
prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and balances). Rumusan
tersebut juga memang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk membuka kemungkinan
diselenggarakannya pemilihan presiden secara langsung, agar sesuai dengan
kehendak untuk menerapkan sistem pemerintahan presidensial (Abdy Yuhana, 2007:
139).
Ni’matul
Huda juga berpendapat bahwa dengan adanya pergeseran kewenangan membentuk
undang-undang itu, maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori “pembagian
kekuasaan” (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi
“pemisahan kekuasaan” (seperation of power) dengan prinsip checks and balances
sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari
kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial (Ni’matul Huda, 2003: 19).
Dari dua pendapat tersebut maka dapat simpulkan bahwa Negara Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil perubahan
telah menganut teori “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) untuk menjamin
prinsip checks and balances demi tercapainya pemerintahan yang demokratis yang
merupakan tuntutan dan cita-cita reformasi.
f. Sistem
pembagian kekuasaan NRI menurut UUD 1945
Sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak menganut suatu sistem
negara manapun, tetapi adalah suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa
indonesia, namun sistem ketatanegaraan Republik indonesia tidak terlepas dari
ajaran Trias Politica Montesquieu. Ajaran trias politica tersebut adalah ajaran
tentang pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga yaitu Legislatif, Eksekutif,
dan Judikatif yang kemudian masing-masing kekuasaan tersebut dalam
pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan mandiri, artinya masing-masing
badan itu satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi dan tidak dapat saling
meminta pertanggung jawaban.
Apabila
ajaran trias politika diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas
Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran tersbut, oleh karena memang dalam UUD
1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara tersebut
pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara.
Susunan
organisasi negara adalah alat-alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga
negara yang diatur dalam UUD 1945 baik baik sebelum maupun sesudah perubahan.
Susunan organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan yaitu :
(1)
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2)
Presiden
(3)
Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
(4)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
(5)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Badan-badan
kenegaraan itu disebut lembaga-lembaga Negara. Sebelum perubahan UUD 1945
lembaga-lembaga Negara tersebut diklasifikasikan, yaitu MPR adalah lembaga
tertinggi Negara, sedangkan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya seperti
presiden, DPR, BPK, DPA dan MA disebut sebagai lembaga tinggi Negara.
Sementara
itu menurut hasil perubahan lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam UUD 1945
adalah sebagai berikut:
(1)
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2)
Presiden
(3)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
(4)
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
(5)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
(6)
Mahkamah Agung (MA)
(7)
Mahkamah Konstitusi (MK)
Secara
institusional, lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri
sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam
menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga Negara tidak terlepas atau
terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu menunjukan bahwa UUD
1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan. Dengan perkataan lain, UUD
1945 menganut asas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan
yang diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan kenegaraan
yang ada, yaitu;
A. Sebelum Perubahan
- MPR,
sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, mempunyai kekuasaan untuk menetapkan
UUD, GBHN, memilih Presiden dan Wakil Presiden serta mengubah UUD
- Presiden, yang
berkedudukan dibawah MPR, mempunyai kekuasaan yang luas yang dapat
digolongkan kedalam beberapa jenis:
- Kekuasaan
penyelenggaran pemerintahan;
- Kekuasaan
didalam bidang perundang undangan, menetapakn PP, Perpu;
- Kekuasaan
dalam bidang yustisial, berkaitan dengan pemberian grasi, amnesti,
abolisi dan rehabilitasi;
- Kekuasaan
dalam bidang hubungan luar negeri, yaitu menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain, mengangkat duta dan konsul.
- DPR,
sebagai pelaksana kedaulatan rakyat mempunyai kekuasaan utama, yaitu
kekuasaan membentuk undang-undang (bersama-sama Presiden dan mengawasi
tindakan presiden.
- DPA, yang
berkedudukan sebagai badan penasehat Presiden, berkewajiban memberikan
jawaban atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada
pemerintah
- BPK,
sebagai “counterpart” terkuat DPR, mempunyai kekuasaan untuk memeriksa
tanggung jawab keuangan Negara dan hasil pemeriksaannya diberitahukan
kepada DPR.
- MA, sebagai
badan kehakiman yang tertinggi yang didalam menjalankan tugasnya tidak
boleh dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah.
B. Setelah Perubahan
- MPR, Lembaga
tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya
seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK, menghilangkan kewenangannya
menetapkan GBHN, menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena
presiden dipilih secara langsung melalui pemilu), tetap berwenang
menetapkan dan mengubah UUD, susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri
dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah
yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
- DPR, Posisi
dan kewenangannya diperkuat, mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya
ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja)
sementara pemerintah berhak mengajukan RUU, Proses dan mekanisme membentuk
UU antara DPR dan Pemerintah, Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme
kontrol antar lembaga negara.
- DPD, Lembaga
negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah
dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan
daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR, keberadaanya
dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan negara Republik Indonesia, dipilih
secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu, mempunyai
kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan
kepentingan daerah.
- BPK, Anggota
BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD, berwenang mengawasi
dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta
menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh
aparat penegak hukum, berkedudukan di ibukota negara dan memiliki
perwakilan di setiap provinsi, mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi
pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
- Presiden,
Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan
memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa
jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial, Kekuasaan
legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR, Membatasi masa jabatan
presiden maksimum menjadi dua periode saja, Kewenangan pengangkatan duta dan
menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR, kewenangan pemberian
grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR,
memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil
presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga
mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
- Mahkmah
Agung, Lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk
menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)], berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah
Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.di bawahnya
terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN), badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan,
Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
- Mahkamah
Konstitusi, Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga
kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution), Mempunyai
kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar
lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil
pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD, Hakim
Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah
Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga
mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif,
legislatif, dan eksekutif.
Atas dasar itu, UUD 1945 meletakan
asas dan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan-hubungan (kekuasaan)
diantara lembaga-lembaga negara tersebut. Hubungan –hubungan itu adakalanya
bersifat timbal balik dan ada kalanya tidak bersifat timbal balik hanya sepihak
atau searah saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar