BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kesehatan
mempunyai peranan besar dalam meningkatkan derajat hidup masyarakat, maka semua
negara berupaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya.
Pelayanan kesehatan ini berarti setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, mencegah dam mengobati penyakit, serta memulihkan kesehatan
perseorangan, kelompok, ataupun masyarakat.
HIV/AIDS
merupakan salah satu topik yang sangat diperlukan dalam bidang kesehatan dalam
suatu masyarakat, serta merupakan kajian studi yang sangat menarik untuk
dipelajari dalam dunia pendidikan.
Adanya
perilaku menyimpang masyarakat mulai dari pekerja seks komersial, homo seksual,
dan penggunaan narkoba suntik yang saling bergantian sangat memengaruhi
meningkatnya penyebaran HIV/AIDS. Adanya pola transmisi yang berkembang selain
hanya transmisi seksual, transmisi non seksual melalui mekanisme transmisi
parenteral dan transmisi transplasental (dari ibu kepada janinnya) menjadi
ancaman baru yang melahirkan korban yang tidak berdosa.
Pada saat
ini, Indonesia tengah menghadapi memburuknya situasi epidemi HIV/AIDS. Sejak
tahun 1999 di beberapa tempat telah menjadi concentrated level of epidemic.
Bahkan dibeberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Papua, Riau, Bali, Jabar dan
Jatim adalah tempat epidemi penduduk yang berperilaku resiko tinggi tertular
HIV secara seksual atau NAPZA suntik.
Untuk itu,
makalah ini dibuat dengan harapan kita sebagai mahasiswa yang nantinya akan
menjadi tenaga kesehatan dapat peka terhadap masalah-masalah penyakit yang
terdapat dalam masyarakat, terutama HIV/AIDS. Dengan mengetahui penyebabnya,
cara penularannya, gejala-gejala, serta cara pencegahannya, kita dapat dengan
segera mengenali penyakit ini, dan dapat dengan segera merencanakan tindakan
selanjutnya, sehinnga diharap dapat mengurangi penderita HIV/AIDS di Indonesia.
1.2 Rumusan
Masalah
·
Apa
yang dimaksud dengan HIV/AIDS ?
·
Bagaimana
cara penularan HIV/AIDS ?
·
Apa
saja gejala yang ditimbulkan HIV/AIDS ?
·
Bagaimana
perjalanan infeksi HIV dalam tubuh manusia ?
·
Perilaku
apa saja yang berisiko tinggi tertular dan tidak tertular HIV ?
·
Bagaimana
cara mencegah HIV ?
1.3 Tujuan
Masalah
·
Mengetahui
apa yang dimaksud dengan HIV/AIDS.
·
Memahami
bagaimana cara penularan HIV/AIDS.
·
Mengenal
apa saja gejala yang ditimbulkan HIV/AIDS.
·
Mengetahui
bagaimana perjalanan infeksi HIV dalam tubuh manusia.
·
Mengetahui
perilaku apa saja yang berisiko tinggi tertular dan tidak tertular HIV.
·
Memahami
bagaimana cara mencegah HIV.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah HIV
Istilah HIV telah digunakan sejak 1986 (Coffin et
al., 1986) sebagai nama untuk retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai
penyebab AIDS oleh Luc Montagnier dari Perancis, yang awalnya
menamakannya LAV (lymphadenopathy-associated virus) (Barre-Sinoussi et al.,
1983) dan oleh Robert Gallo dari Amerika Serikat, yang
awalnya menamakannya HTLV-III (human T lymphotropic virus type III) (Popovic et
al., 1984).
HIV adalah
anggota dari genus lentivirus [1], bagian dari keluarga retroviridae [2] yang
ditandai dengan periode latensi yang panjang dan sebuah sampul lipid dari
sel-host awal yang mengelilingi sebuah pusat protein/RNA. Dua spesies HIV
menginfeksi manusia: HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 adalah yang lebih
"virulent" dan lebih mudah menular, dan merupakan sumber dari
kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia; HIV-2 kebanyakan masih terkurung di
Afrika barat (Reeves and Doms, 2002). Kedua spesies berawal di Afrika barat dan
tengah, melompat dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal
sebagai zoonosis.
HIV-1 telah
berevolusi dari sebuah simian immunodeficiency virus (SIVcpz) yang ditemukan
dalam subspesies simpanse, Pan troglodyte troglodyte (Gao et al., 1999).HIV-2
melompat spesies dari sebuah strain SIV yang berbeda, ditemukan dalam sooty
mangabeys, monyet dunia lama Guinea-Bissau (Reeves and Doms, 2002).
HIV-1
memiliki 3 kelompok atau grup yang telah berhasil diidentifikasi berdasarkan
perbedaan pada envelope-nya yaitu M, N, dan O (Thomson dkk, 2002). Kelompok M
yang paling besar prevalensinya dan dibagi kedalam 8 subtipe berdasarkan
seluruh genomnya, yang masing-masing berbeda secara geografis (Carr dkk, 1998).
Subtipe yang paling besar prevalensinya adalah subtipe B (banyak ditemukan di
Afrika dan Asia), subtipe A dan D (banyak ditemukan di Afrika), dan C (banyak
ditemukan di Afrika dan Asia); subtipe-subtipe ini merupakan bagian dari
kelompok M dari HIV-1. Ko-infeksi dengan subtipe yang berrbeda meningkatkan
sirkulasi bentuk rekombinan (CRFs)
2.2
Pengertian HIV/AIDS
HIV (Human
Immunodeficiency Virus) adalah virus atau jasad renik yang sangat kecil yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan merusaknya sehingga pada akhirnya
tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan
sekalipun. HIV merupakan penyebab dasar AIDS.
AIDS
(Acquired
Immuno Deficiency Syndrome) atau sindrom penurunan kekebalan yang didapatkan
adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul karena rendahnya daya tahan tubuh. Seseorang yang terinfeksi oleh HIV, maka virus ini akan
menyerang sel darah putih. Selanjutnya akan merusak dinding sel darah putih
untuk masuk ke dalam sel dan merusak bagian yang memegang peranan pada
kekebalan tubuh. Sel darah putih yang telah dirusak tersebut menjadi lemah dan
tidak lagi mampu melawan kuman-kuman penyakit. Lambat-laun sel darah putih yang
sehat akan berkurang. Akibatnya, kekebalan tubuh orang tersebut menjadi menurun
dan akhirnya sangat mudah terserang berbagai penyakit. Pada
awalnya penderita HIV positif sering menampakkan gejala sampai bertahun-tahun(5-10
tahun). Banyak faktor yang mempengaruhi panjang pendeknya masa tanpa gejala
ini, namun pada masa ini penderita dapat menularkan penyakitnya pada orang
lain. Sekitar 89% penderita HIV akan berkembang menjadi AIDS. Semakin lama
penderita akan semakin lemah dan akhirnya akan berakhir dengan kematian, karena
saat ini belum ditemukan obat untuk mencegah atau menyembuhkan HIV/AIDS.
2.3
Cara Penularan HIV/AIDS
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya
ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa)
atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air
mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui
hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik
yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau
menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
a) Penularan
seksual
Penularan
(transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan
vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau
membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung
lebih beresiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan resiko
hubungan seks anal lebih besar daripada resiko hubungan seks biasa dan seks
oral. Seks oral tidak berarti tak beresiko karena HIV dapat masuk melalui seks
oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan
risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering
terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.
Penyakit
menular seksual meningkatkan resiko penularan HIV karena dapat menyebabkan
gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin,
dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan
makrofag) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika
Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat
kali lebih besar resiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin
seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga
meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular
seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang
menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofag.
Transmisi
HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan
pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada
berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma
yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada
air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV
plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV.[36][37]
Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi
serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap
penyakit seksual.[38][39] Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat
terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.
b) Kontaminasi patogen melalui darah
Jalur
penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita
hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan
menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang
terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya
merupakan resiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis
C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua
infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat
Cina, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan
jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150.
Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi
resiko itu. Pekerja fasilitas kesehatan
(perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan
walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang
memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali
tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber
daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua
infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas
kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong
negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah
penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.
Resiko
penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di
negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun
demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap
darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui
transfusi darah yang terinfeksi".
c) Penularan masa perinatal
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat
terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu
terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan
dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun
demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan
melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.[44]
Sejumlah faktor dapat memengaruhi resiko infeksi, terutama beban virus pada ibu
saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi resikonya).
Menyusui meningkatkan resiko penularan sebesar 4%.
2.4
Gejala Penularan HIV/AIDS
Berbagai
gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem
kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh
bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur
sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati
pada penderita AIDS.[7] HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita
AIDS juga beresiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker
leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya
penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama
pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta
penurunan berat badan.[8][9] Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien
AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di
wilayah geografis tempat hidup pasien.
Gejala penularan HIV/AIDS terjadi beberapa hari atau beberapa minggu
setelah terinfeksi HIV, gejala-gejala ini hanya berlangsung beberapa hari atau
beberapa minggu saja, lalu hilang dengan sendirinya. Seseorang mungkin akan
menjadi sakit dengan gejala-gejala seperti flu, yaitu:
1)
Demam
2)
Rasa lemah
dan lesu
3)
Sendi-sendi
terasa nyeri
4)
Batuk
5)
Nyeri
tenggorokan
Gejala selanjutnya adalah memasuki tahap dimana sudah mulai timbul
gejala-gejala yang mirip dengan gejala-gejala penyakit lain, gejala-gejala
diatas ini memang tidak khas, karena dapat juga terjadi pada penyakit-penyakit
lain. Namun gejala-gejala ini menunjukkan sudah adanya kerusakan pada system
kekebalan tubuh yaitu:
1)
Demam
berkepanjangan
2)
Penurunan
berat badan (lebih dari 10 % dalam waktu 3 hari)
3)
Kelemahan
tubuh yang mengganggu/menurunkan aktifitas fisik sehari-hari
4)
Pembangkakan
kelenjar di leher, lipat paha, dan ketiak
5)
Diare atau
mencret terus menerus tanpa sebab yang jelas
6)
Batuk da
sesak nafas lebih dari 1 bulan secara terus menerus
7)
Kulit gatal
dan bercak-bercak merah kebiruan
Gejala penurunan kekebalan tubuh ditandai dengan mudahnya diserang penyakit
lain, dan disebut infeksi oportunitis. Maksudnya adalah penyakit yang
disebabkan baik oleh virus lain, bakteri, jamur, atau parasite (yang bisa juga
hidup dalam tubuh kita), yang bila system kekebalan tubuh baik kuman ini dapat
dikendalikan oleh tubuh. Pada tahap ini pengidap HIV telah berkembang menjadi
penderita AIDS. Pada umumnya penderita AIDS akan meninggal dunia sekitar 2 tahun
setelah gejala AIDS ini uncul.
Gejala AIDS yang timbul adalah :
1)
Radang paru
2)
Radang
saluran pencernaan
3)
Radang
karena jamur di mulut dan kerongkongan
4)
Kanker kulit
5)
TBC
6)
Gangguan
susunan saraf
2.5
Perjalanan Infeksi HIV dalam Tubuh Manusia
Infeksi HIV
terjadi melalui beberapa tahapan :
a) Periode
Jendela (Window Periode)
Virus masuk kedalam tubuh dan berkembang. Pada tahap
ini (3 bulan pertama) jika kita melakukan tes, virus belum bisa terdeteksi.
Tidak ada gejala yang muncul tetap virus sudah bisa ditularkan ke orang lain.
b) Tanpa
Gejala
Pada tahap ini HIV sudah dapat terdeteksi jika
dilakukan tes HIV tetapi dalam tahap ini belum menunjukkan gejala dan tampak
sehat, tergantung pada kondisi kesehatan dan daya tahan tubuh
c) Muncul
Gejala
Pada tahap ini muncul gejala-gejala seperti: demam
berkepanjangan, penurunan berat badan, diare terus menerus tanpa sebab yang
jelas, batuk dan sesak nafas lebih dari satu bulan secara terus-menerus, kulit
menjadi gatal dan muncul bercak-bercak merah kebiruan. Gejala-gejala tersebut
menunjukkan sudah ada kerusakan pada system kekebalan tubuh.
d)AIDS
Pada tahap ini kekebalan tubuh sudah sangat menurun,
sehingga terserang berbagai penyakit, seperti: radang paru-paru
(TBC/tuberculosis), radang karena jamur di mulut dan kerongkongan, gangguan
susunan saraf (toxoplasmosis), kanker kulit, infeksi usus, dan infeksi lain.
2.6 Perilaku
Berisiko Tinggi
Berikut
orang-orang yang mempunyai kemungkinan besar terkena infeksi HIV atau menularkan
HIV :
a) Wanita dan laki-laki yang berganti-ganti pasangan
dalam hubungan seksual
b) Wanita dan pria tuna susila, serta pelanggan mereka
c) Orang-orang yang melakukan hubungan seksual yang tidak
wajar, seperti hubungan seks melalui dubur (anal) dan mulut misalnya pada homo
seksual dan biseksual
d) Penggunaan narkotika dengan suntikan, yang menngunakan
jarum suntik secara bersama (bergantian)
e) Penyalahgunaan narkotika dengan perilaku lainnya
2.7
Perilaku Tidak Berisiko Tertular HIV
HIV mudah
mati di luar tubuh manusia. Oleh sebab itu HIV tidak dapat ditularkan melalui kontak
social sehari-hari seperti :
a)
Bersentuhan
dengan pengidap HIV
b)
Berjabat
tangan
c)
Penderita
AIDS bersin atau batuk-batuk di dapan kita
d)
Menggunakan
kolam renang yang sama
e)
Menggunakan
WC yang sama
f)
Melalui
gigitan nyamuk dan serangga lainnya
2.8
Pencegahan Terhadap HIV
Tiga jalur
utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan seksual,
persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta
dari ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal).
Walaupun HIV dapat ditemukan pada air liur, air mata dan urin orang yang
terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi dikarenakan
cairan-cairan tersebut, dengan demikian resiko infeksinya secara umum dapat
diabaikan.
a) Hubungan seksual
Mayoritas
infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu yang
salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus utama infeksi
HIV di dunia. Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita
yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya
serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan
kondom yang lazim mengurangi resiko penularan HIV sampai kira-kira 80% dalam
jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan
benar dalam setiap kesempatan. Kondom laki-laki berbahan lateks, jika digunakan
dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi
yang paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan
penyakit menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa
pelumas berbahan minyak seperti vaselin, mentega, dan lemak babi tidak
digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat melarutkan
lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen
menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar
minyak digunakan dengan kondom poliuretan.
Kondom
wanita adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan,
yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak.
Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung
terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina.
Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam
vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya
ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak
terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa
dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara
keseluruhan meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung
sehingga kondom wanita merupakan strategi pencegahan HIV yang penting.
Penelitian terhadap
pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan
kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi
adalah di bawah 1% per tahun.[64] Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik
di negara-negara maju. Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis di
Eropa dan Amerika Utara menunjukkan keberadaan kelompok minoritas anak muda
yang tetap melakukan kegiatan beresiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang
HIV/AIDS, sehingga mengabaikan resiko yang mereka hadapi atas infeksi HIV.[65]
Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan
transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara maju.
Pada bulan
Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali
mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan resiko infeksi HIV pada pria
heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan
digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun
penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan masalah
kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli mengkhawatirkan
bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki bersunat, dapat
meningkatkan perilaku seksual beresiko sehingga mengurangi dampak dari usaha
pencegahan ini.
Pemerintah
Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan Pendekatan ABC
untuk menurunkan resiko terkena HIV melalui hubungan seksual. Adapun rumusannya
dalam bahasa Indonesia:“
Anda jauhi
seks,
Bersikap
saling setia dengan pasangan,
Cegah dengan
kondom.
b) Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi
Pekerja kedokteran yang mengikuti
kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik
dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV.
Semua organisasi pencegahan AIDS
menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang
diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk alat suntik,
kapas bola, sendok, air pengencer obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu
menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi
tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas
kesehatan dan program penukaran jarum. Di sejumlah negara maju, jarum bersih
terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau tempat penyuntikan
yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan
pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter.
c) Penularan dari ibu ke anak
Penelitian menunjukkan bahwa obat
antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang
penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child transmission, MTCT). Jika
pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau,
berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak
mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian
ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya
dihentikan sesegera mungkin. Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah
umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui penularan ibu ke anak; 630.000
infeksi di antaranya terjadi di Afrika. Dari semua anak yang diduga kini hidup
dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.
2.9
Penanganan Terhadap
HIV
Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode
satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran
kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung
setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure
prophylaxis (PEP).[40] PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut
banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti
diare, tidak enak badan, mual, dan lelah.
a) Terapi antivirus
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat
aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah
sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu
setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik
HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut
"koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau
"kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah
nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease
inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI).
Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada
orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada
untuk orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan
HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan
berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai
perawatan awal.
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah
virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV
ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering
resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan.
Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk
membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun
demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan
umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas
tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV.
Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan
kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan
selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan.
Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12
tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima
puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini
karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi
antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang
resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi
antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh
manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak
taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial
yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan
sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga
kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis,
pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin. Berbagai
efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan
HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan
resiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.
Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di
dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan
AIDS tersebut.
b) Penanganan eksperimental dan saran
Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan
epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya
pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya dan
pasien tidak membutuhkan perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20 tahun
penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin.
Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi
efek samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan
pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi
adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah
pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani
pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B
disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam beresiko
terinfeksi. Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga
disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia
pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis
yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut.
c)
Pengobatan alternatif
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau
mengubah arah perkembangan penyakit. Akupuntur telah digunakan untuk mengatasi
beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti
kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun tidak menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes
uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat
bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan
penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang
serius.
Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral
kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun
tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan
berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik. Suplemen
vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat. Pemakaian
selenium dengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV
melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan
sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar,
tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan
morbiditas.
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki
hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat
meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat
psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat
paling penting dari pemakaiannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar