Selasa, 17 Mei 2016

Makalah HIV/AIDS

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kesehatan mempunyai peranan besar dalam meningkatkan derajat hidup masyarakat, maka semua negara berupaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya. Pelayanan kesehatan ini berarti setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dam mengobati penyakit, serta memulihkan kesehatan perseorangan, kelompok, ataupun masyarakat.

HIV/AIDS merupakan salah satu topik yang sangat diperlukan dalam bidang kesehatan dalam suatu masyarakat, serta merupakan kajian studi yang sangat menarik untuk dipelajari dalam dunia pendidikan.

Adanya perilaku menyimpang masyarakat mulai dari pekerja seks komersial, homo seksual, dan penggunaan narkoba suntik yang saling bergantian sangat memengaruhi meningkatnya penyebaran HIV/AIDS. Adanya pola transmisi yang berkembang selain hanya transmisi seksual, transmisi non seksual melalui mekanisme transmisi parenteral dan transmisi transplasental (dari ibu kepada janinnya) menjadi ancaman baru yang melahirkan korban yang tidak berdosa.

Pada saat ini, Indonesia tengah menghadapi memburuknya situasi epidemi HIV/AIDS. Sejak tahun 1999 di beberapa tempat telah menjadi concentrated level of epidemic. Bahkan dibeberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Papua, Riau, Bali, Jabar dan Jatim adalah tempat epidemi penduduk yang berperilaku resiko tinggi tertular HIV secara seksual atau NAPZA suntik.

Untuk itu, makalah ini dibuat dengan harapan kita sebagai mahasiswa yang nantinya akan menjadi tenaga kesehatan dapat peka terhadap masalah-masalah penyakit yang terdapat dalam masyarakat, terutama HIV/AIDS. Dengan mengetahui penyebabnya, cara penularannya, gejala-gejala, serta cara pencegahannya, kita dapat dengan segera mengenali penyakit ini, dan dapat dengan segera merencanakan tindakan selanjutnya, sehinnga diharap dapat mengurangi penderita HIV/AIDS di Indonesia.
  
1.2  Rumusan Masalah
·         Apa yang dimaksud dengan HIV/AIDS ?
·         Bagaimana cara penularan HIV/AIDS ?
·         Apa saja gejala yang ditimbulkan HIV/AIDS ?
·         Bagaimana perjalanan infeksi HIV dalam tubuh manusia ?
·         Perilaku apa saja yang berisiko tinggi tertular dan tidak tertular HIV ?
·         Bagaimana cara mencegah HIV ?

1.3  Tujuan Masalah
·         Mengetahui apa yang dimaksud dengan HIV/AIDS.
·         Memahami bagaimana cara penularan HIV/AIDS.
·         Mengenal apa saja gejala yang ditimbulkan HIV/AIDS.
·         Mengetahui bagaimana perjalanan infeksi HIV dalam tubuh manusia.
·         Mengetahui perilaku apa saja yang berisiko tinggi tertular dan tidak tertular HIV.
·         Memahami bagaimana cara mencegah HIV.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Sejarah HIV
Istilah HIV telah digunakan sejak 1986 (Coffin et al., 1986) sebagai nama untuk retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc Montagnier dari Perancis, yang awalnya menamakannya LAV (lymphadenopathy-associated virus) (Barre-Sinoussi et al., 1983) dan oleh Robert Gallo dari Amerika Serikat, yang awalnya menamakannya HTLV-III (human T lymphotropic virus type III) (Popovic et al., 1984).
HIV adalah anggota dari genus lentivirus [1], bagian dari keluarga retroviridae [2] yang ditandai dengan periode latensi yang panjang dan sebuah sampul lipid dari sel-host awal yang mengelilingi sebuah pusat protein/RNA. Dua spesies HIV menginfeksi manusia: HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 adalah yang lebih "virulent" dan lebih mudah menular, dan merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia; HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika barat (Reeves and Doms, 2002). Kedua spesies berawal di Afrika barat dan tengah, melompat dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai zoonosis.

HIV-1 telah berevolusi dari sebuah simian immunodeficiency virus (SIVcpz) yang ditemukan dalam subspesies simpanse, Pan troglodyte troglodyte (Gao et al., 1999).HIV-2 melompat spesies dari sebuah strain SIV yang berbeda, ditemukan dalam sooty mangabeys, monyet dunia lama Guinea-Bissau (Reeves and Doms, 2002).

HIV-1 memiliki 3 kelompok atau grup yang telah berhasil diidentifikasi berdasarkan perbedaan pada envelope-nya yaitu M, N, dan O (Thomson dkk, 2002). Kelompok M yang paling besar prevalensinya dan dibagi kedalam 8 subtipe berdasarkan seluruh genomnya, yang masing-masing berbeda secara geografis (Carr dkk, 1998). Subtipe yang paling besar prevalensinya adalah subtipe B (banyak ditemukan di Afrika dan Asia), subtipe A dan D (banyak ditemukan di Afrika), dan C (banyak ditemukan di Afrika dan Asia); subtipe-subtipe ini merupakan bagian dari kelompok M dari HIV-1. Ko-infeksi dengan subtipe yang berrbeda meningkatkan sirkulasi bentuk rekombinan (CRFs)

2.2       Pengertian HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus atau jasad renik yang sangat kecil yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan merusaknya sehingga pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun. HIV merupakan penyebab dasar AIDS.

AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) atau sindrom penurunan kekebalan yang didapatkan adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul karena rendahnya daya tahan tubuh. Seseorang yang terinfeksi oleh HIV, maka virus ini akan menyerang sel darah putih. Selanjutnya akan merusak dinding sel darah putih untuk masuk ke dalam sel dan merusak bagian yang memegang peranan pada kekebalan tubuh. Sel darah putih yang telah dirusak tersebut menjadi lemah dan tidak lagi mampu melawan kuman-kuman penyakit. Lambat-laun sel darah putih yang sehat akan berkurang. Akibatnya, kekebalan tubuh orang tersebut menjadi menurun dan akhirnya sangat mudah terserang berbagai penyakit. Pada awalnya penderita HIV positif sering menampakkan gejala sampai bertahun-tahun(5-10 tahun). Banyak faktor yang mempengaruhi panjang pendeknya masa tanpa gejala ini, namun pada masa ini penderita dapat menularkan penyakitnya pada orang lain. Sekitar 89% penderita HIV akan berkembang menjadi AIDS. Semakin lama penderita akan semakin lemah dan akhirnya akan berakhir dengan kematian, karena saat ini belum ditemukan obat untuk mencegah atau menyembuhkan HIV/AIDS.

2.3       Cara Penularan HIV/AIDS
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.

a)   Penularan seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih beresiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan resiko hubungan seks anal lebih besar daripada resiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak beresiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.

Penyakit menular seksual meningkatkan resiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofag) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar resiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofag.
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV.[36][37] Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual.[38][39] Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.

b)   Kontaminasi patogen melalui darah
Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan resiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi resiko itu. Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.
Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".

c)   Penularan masa perinatal
      Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.[44] Sejumlah faktor dapat memengaruhi resiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi resikonya). Menyusui meningkatkan resiko penularan sebesar 4%.

2.4       Gejala Penularan HIV/AIDS
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS.[7] HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga beresiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan.[8][9] Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
Gejala penularan HIV/AIDS terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah terinfeksi HIV, gejala-gejala ini hanya berlangsung beberapa hari atau beberapa minggu saja, lalu hilang dengan sendirinya. Seseorang mungkin akan menjadi sakit dengan gejala-gejala seperti flu, yaitu:
1)      Demam
2)      Rasa lemah dan lesu
3)      Sendi-sendi terasa nyeri
4)      Batuk
5)      Nyeri tenggorokan

Gejala selanjutnya adalah memasuki tahap dimana sudah mulai timbul gejala-gejala yang mirip dengan gejala-gejala penyakit lain, gejala-gejala diatas ini memang tidak khas, karena dapat juga terjadi pada penyakit-penyakit lain. Namun gejala-gejala ini menunjukkan sudah adanya kerusakan pada system kekebalan tubuh yaitu:
1)      Demam berkepanjangan
2)      Penurunan berat badan (lebih dari 10 % dalam waktu 3 hari)
3)      Kelemahan tubuh yang mengganggu/menurunkan aktifitas fisik sehari-hari
4)      Pembangkakan kelenjar di leher, lipat paha, dan ketiak
5)      Diare atau mencret terus menerus tanpa sebab yang jelas
6)      Batuk da sesak nafas lebih dari 1 bulan secara terus menerus
7)      Kulit gatal dan bercak-bercak merah kebiruan

Gejala penurunan kekebalan tubuh ditandai dengan mudahnya diserang penyakit lain, dan disebut infeksi oportunitis. Maksudnya adalah penyakit yang disebabkan baik oleh virus lain, bakteri, jamur, atau parasite (yang bisa juga hidup dalam tubuh kita), yang bila system kekebalan tubuh baik kuman ini dapat dikendalikan oleh tubuh. Pada tahap ini pengidap HIV telah berkembang menjadi penderita AIDS. Pada umumnya penderita AIDS akan meninggal dunia sekitar 2 tahun setelah gejala AIDS ini uncul.
Gejala AIDS yang timbul adalah :
1)      Radang paru
2)      Radang saluran pencernaan
3)      Radang karena jamur di mulut dan kerongkongan
4)      Kanker kulit
5)      TBC
6)      Gangguan susunan saraf


2.5       Perjalanan Infeksi HIV dalam Tubuh Manusia
Infeksi HIV terjadi melalui beberapa tahapan :
a) Periode Jendela (Window Periode)
Virus masuk kedalam tubuh dan berkembang. Pada tahap ini (3 bulan pertama) jika kita melakukan tes, virus belum bisa terdeteksi. Tidak ada gejala yang muncul tetap virus sudah bisa ditularkan ke orang lain.
      b) Tanpa Gejala
Pada tahap ini HIV sudah dapat terdeteksi jika dilakukan tes HIV tetapi dalam tahap ini belum menunjukkan gejala dan tampak sehat, tergantung pada kondisi kesehatan dan daya tahan tubuh
c) Muncul Gejala
Pada tahap ini muncul gejala-gejala seperti: demam berkepanjangan, penurunan berat badan, diare terus menerus tanpa sebab yang jelas, batuk dan sesak nafas lebih dari satu bulan secara terus-menerus, kulit menjadi gatal dan muncul bercak-bercak merah kebiruan. Gejala-gejala tersebut menunjukkan sudah ada kerusakan pada system kekebalan tubuh.
d)AIDS
Pada tahap ini kekebalan tubuh sudah sangat menurun, sehingga terserang berbagai penyakit, seperti: radang paru-paru (TBC/tuberculosis), radang karena jamur di mulut dan kerongkongan, gangguan susunan saraf (toxoplasmosis), kanker kulit, infeksi usus, dan infeksi lain.

2.6       Perilaku Berisiko Tinggi
Berikut orang-orang yang mempunyai kemungkinan besar terkena infeksi HIV atau menularkan HIV :
a)      Wanita dan laki-laki yang berganti-ganti pasangan dalam hubungan seksual
b)      Wanita dan pria tuna susila, serta pelanggan mereka
c)      Orang-orang yang melakukan hubungan seksual yang tidak wajar, seperti hubungan seks melalui dubur (anal) dan mulut misalnya pada homo seksual dan biseksual
d)     Penggunaan narkotika dengan suntikan, yang menngunakan jarum suntik secara bersama (bergantian)
e)      Penyalahgunaan narkotika dengan perilaku lainnya

2.7       Perilaku Tidak Berisiko Tertular HIV
HIV mudah mati di luar tubuh manusia. Oleh sebab itu HIV tidak dapat ditularkan melalui kontak social sehari-hari seperti :
a)      Bersentuhan dengan pengidap HIV
b)      Berjabat tangan
c)      Penderita AIDS bersin atau batuk-batuk di dapan kita
d)     Menggunakan kolam renang yang sama
e)      Menggunakan WC yang sama
f)       Melalui gigitan nyamuk dan serangga lainnya

2.8       Pencegahan Terhadap HIV
Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian resiko infeksinya secara umum dapat diabaikan.
a) Hubungan seksual
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus utama infeksi HIV di dunia. Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi resiko penularan HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan. Kondom laki-laki berbahan lateks, jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi yang paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan penyakit menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan minyak seperti vaselin, mentega, dan lemak babi tidak digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan kondom poliuretan.

Kondom wanita adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan, yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak. Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina. Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita merupakan strategi pencegahan HIV yang penting.

Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi adalah di bawah 1% per tahun.[64] Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di negara-negara maju. Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap melakukan kegiatan beresiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga mengabaikan resiko yang mereka hadapi atas infeksi HIV.[65] Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara maju.

Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan resiko infeksi HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual beresiko sehingga mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini.
Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan Pendekatan ABC untuk menurunkan resiko terkena HIV melalui hubungan seksual. Adapun rumusannya dalam bahasa Indonesia:“    
Anda jauhi seks,
Bersikap saling setia dengan pasangan,
Cegah dengan kondom.

b) Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi
Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV.

Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk alat suntik, kapas bola, sendok, air pengencer obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program penukaran jarum. Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter.

c) Penularan dari ibu ke anak
Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child transmission, MTCT). Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin. Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika. Dari semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.

2.9       Penanganan Terhadap HIV
Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP).[40] PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah.

a) Terapi antivirus
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal.

Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV. Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin. Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan resiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.
Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut.

b) Penanganan eksperimental dan saran
Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin.

Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam beresiko terinfeksi. Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut.

c)         Pengobatan alternatif
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit. Akupuntur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun tidak menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius.
Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik. Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat. Pemakaian selenium dengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas.

Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya.



BAB III
PENUTUP
       3.1       Kesimpulan
       3.2       Saran







DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar